Thursday, 21 November 2024
Select Page

Banyak tulisan yang telah mengulas tentang apa itu merkuri, bagaimana dampaknya penggunaan merkuri terhadap kesehatan manusia dan juga terhadap lingkungan hidup. Sebagaimana dalam situs World Health Organization (WHO), Merkuri elemental dan metil merkuri bersifat beracun terhadap sistem saraf pusat dan peripheral. Menghirup uap merkuri dapat menghasilkan efek berbahaya pada sistem saraf, pencernaan dan kekebalan tubuh, paru-paru dan ginjal, dan dapat berakibat fatal. Garam merkuri anorganik bersifat korosif terhadap kulit, mata dan saluran pencernaan, dan dapat menyebabkan toksisitas ginjal jika tertelan.

Gangguan neurologis dan perilaku dapat diamati setelah terpapar senyawa merkuri melalui proses pernafasan, menelan atau melalui kulit. Gejala yang muncul termasuk tremor, insomnia, kehilangan memori, efek neuromuskular, sakit kepala dan disfungsi kognitif dan motorik. Tanda-tanda subklinis ringan, toksisitas sistem saraf pusat dapat dilihat pada pekerja yang terpajankadar merkuri unsur di udara 20 µg / m3 atau lebih selama beberapa tahun. Efek terhadap ginjal mulai dari peningkatan protein dalam urin hingga gagal ginjal.

Merkuri dapat dijumpai berupa merkuri anorganik (merkuri elemental/logam) dan senyawa merkuri organik (metil merkuri). Merkuri elemental merupakan bahan kimia yang bersifat logam cair berwarna perak, mudah menguap pada suhu ruang dan uapnya dapat berpindah jauh melalui atmosfer. Merkuri di lingkungan berasal dari kegiatan manusia seperti kegiatan industry manufaktur, kegiatan pembangkit listrik dan sumber alam seperti aktifitas gunung berapi, pelapukan batuan dan kerak bumi.

Sekali teremisikan, merkuri dapat menempuh jarak yang jauh di atmosfer, menyebabkan pencemaran ekosistem secara global, terhadap ikan, burung, mamalia, dan rantai makanan manusia. Di seluruh dunia, konsumsi makanan laut yang terkontaminasi merkuri membuat miliaran orang berisiko keracunan merkuri, yang mempengaruhi perkembangan dan fungsi otak dan sistem syaraf. Pajanan terhadap para penambang emas yang menggunakan merkuri dapat menjadi lebih parah.

 

Merkuri Pada Kegiatan Pertambangan Emas Skala Kecil (Pesk)

Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) adalah pertambangan emas yang dilakukan oleh penambang individu atau usaha kecil dengan investasi modal dan produksi yang terbatas. Beberapa menetapkan PESK berdasarkan besarnya bijih yang diproses, misalnya kurang dari 300 ton per hari dan beberapa mendefiniskan dari metode penambangan dan pengolahan yang digunakan, misalnya dilakukan secara manual dan/atau teknik semi mekanik (UNEP, 2013).

Bagi kebanyakan orang, mengetahui bagaimana efek yang ditimbulkan oleh merkuri tentulah menakutkan, tetapi tidak untuk masyarakat penambang emas skala kecil. Merkuri menjadi barang yang penting, sangat diperlukan untuk tujuan memperoleh sebanyak-banyaknya emas dalam proses yang tidak terlalu lama. Dampak yang ditimbulkan dari penggunaan merkuri tidak langsung terasa, sehingga para penambang mengangap menggunakan merkuri sudah merupakan hal yang biasa.

Mengapa merkuri menjadi pilihan para penambang emas skala kecil dalam pengolahan? Menggunakan merkuri sangat mudah dan cepat. Proses penggilingan bijih emas dengan merkuri di glundungan yang umum dilakukan hanya menunggu sampai 24 (dua puluh empat) jam. Merkuri dapat digunakan untuk mengekstrak emas dalam berbagai kondisi lapangan. Mengolah emas dengan merkuri dianggap lebih ekonomis dibandingkan dengan alternative teknik lainnya.

UNEP (2012) mencatat bahwa dari 4.167 ton total konsumsi merkuri di seluruh dunia antara lain digunakan pada perawatan Gigi: 8%; Perangkat Kontrol dan Pengukur: 7%: Lampu: 4%; Peralatan Listrik dan Elektronik: 7%; Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK): 24%; Vinyl Chloride Monomer: 21%; produksi Chlorine: 15%; Batre: 13% dan lainnya (cat, pertanian, kesehatan): 1%. Dari sekian sektor pengguna merkuri, maka kegiatan PESK lah yang dinyatakan memiliki porsi terbesar dalam menggunakan sekaligus mengemisikan merkuri.

Kegiatan PESK umumnya beroperasi secara informal dan mengekploitasi cadangan-cadangan emas marginal yang terletak di daerah terpencil dengan akses yang sulit dijangkau seperti di hutan lindung bahkan di kawasan konservasi. Di beberapa tempat, kegiatan pengolahan emas PESK dilakukan di tengah-tengah pemukiman penduduk (KLHK, 2017).

Bagi sebagian komunitas PESK, kegiatan menambang dan mengolah emas merupakan sumber penghasilan tambahan disamping bertani atau berkebun, dan bahkan dilakukan juga oleh keluarga yang telah memiliki pekerjaan formal. Sebagian kelompok masyarakat menjadikan kegiatan PESK sebagai sumber utama penghasilan bagi keluarga karena sulitnya memperoleh pekerjaan. Mereka yang telah bertahun-tahun merasakan hasil dari mengolah emas sangat sulit untuk berpindah ke mata pencaharian lainnya.

PESK dianggap sebagai sebuah mekanisme ekonomi yang dapat menyediakan lapangan kerja dan mengurangi tingkat pengangguran. Dampak positif ekonomi PESK tidak hanya dirasakan oleh orang-orang yang terlibat langsung dalam penambangan tetapi juga bagi mereka yang terlibat dalam bisnis-bisnis pendukungnya seperti penyediaan kebutuhan logistik, bengkel-bengkel peralatan, dll (KLHK, 2017).

Praktek pengolahan emas oleh PESK di beberapa tempat di Indonesia memiliki kemiripan. Tahapan proses dan peralatan yang dilakukan pada kegiatan PESK yaitu sebagai berikut:

  1. Penghancuran: bijih dalam bentuk batuan besar dihancurkan menjadi ukuran yang lebih kecil dengan cara manual ataupun dengan mesin.

    Alat penghancur bijih

  2. Penggilingan: bijih yang hancur digiling menjadi ukuran butir yang lebih kecil atau seragam agar lebih banyak diperoleh emas dari mineral lainnya. Peralatan yang umum digunakan adalah glundungan (tromol) dengan ukuran bervariasi.

    Glundungan / Tromol

  3. Pencampuran merkuri: merkuri dicampur dengan bijih untuk memisahkan emas dari mineral lainya. Merkuri mengikat emas dan beberapa logam lainnya untuk membentuk campuran padat yang merupakan campuran dari setengah merkuri dan setengah emas. Merkuri yang kontak dengan partikel emas dalam sedimen atau bijih besi yang dihancurkan kemudian membentuk amalgam, yaitu campuran lunak antara merkuri sekitar 50% dengan emas 50%. Pada proses ini juga menggunakan air, dan air limbah hasil pengolahan emas dengan metode ini masih mengandung merkuri dalam konsentrasi yang tinggi dan sering dibuang ke sungai atau badan air lainnya tanpa pengolahan terlebih dahulu.

    Sisa merkuri hasil dari pengolahan di glundungan

  4. Penguapan merkuri: amalgam dipanaskan untuk menguapkan merkuri, sehingga terbentuk “emas spons” (teksturnya seperti spons). Biasanya proses penghilangan merkuri melalui penguapan dilakukan dengan sistem terbuka atau tanpa alat penangkap merkuri.Ketika merkuri diuapkan pada udara terbuka maka uap merkuri terhirup dan dapat meracuni pekerja maupun masyarakat sekitar. Ada juga yang dilakukan didalam bangunan tertutup, sehingga merkuri menempel pada langit-langit atap maupun dinding yang kemudian tersebar kembali ke udara dari waktu ke waktu dan menyebabkan paparan jangka panjang.

    Alat penguapan merkuri dari amalgam

  5. Peleburan: “emas spons” dipisahkan dari kotoran dengan mencairkannya menjadi “emas padat dore” dan sedikit ampas bijih. Kemurnian dore bervariasi tergantung pada sifat endapan emas. Dore dapat dimurnikan lebih lanjut, biasanya dilakukan di toko emas, untuk mencapai emas 24K murni.

Teknik pengolahan emas seperti ini yang umum mereka ketahui dan sangat mudah ditiru oleh setiap orang. Dengan menggunakan merkuri, rata-rata pengolahan yang hanya memerlukan waktu 24 jam, sudah dapat menghasilkan emas untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan menetap. Ditambah lagi dengan ketidaktersediaan alternatif lapangan pekerjaan, maka masyarakat setempat akan bergeser mengikuti kegiatan PESK.

Disamping menggunakan merkuri, para penambang emas skala kecil juga menggunakan Bahan Berbahaya Beracun (B3) jenis Sodium cyanide dalam mengolah bijih emas. B3 ini digunakan untuk menangkap emas yang masih tersisa dalam lumpur dari hasil pengolahan sebelumnya dengan merkuri. Tidak hanya mengolah sisa lumpur yang masih mengandung emas, Sodium Cyanide juga digunakan sebagai bahan utama dalam pengolahan emas manakala merkuri tidak dapat diperoleh.

 

Namun demikian, praktek pengolahan emas dengan merkuri yang dilakukan para penambang emas skala kecil ini tidak diimbangi dengan pengetahuan dan kepedulian masyarakat akan bahaya merkuri. Para penambang emas skala kecil melakukan kontak langsung dengan merkuri tanpa pelindung apapun sehingga risiko pajanan merkuri akan semakin besar. Masyarakat atau lingkungan yang tinggal di sekitar lokasi PESK pun berisiko terpajan bahaya merkuri. Kerugian lingkungan yang muncul adalah terjadinya penurunan kualitas lahan dan tata air, rusak dan tercemarnya ekosistem.

 

Sumber Merkuri

UNEP dalam Grand Design Pengurangan dan Penghapusan Merkuri pada PESK mencatat bahwa lima sumber utama merkuri adalah sebagai berikut :

  1. Penambangan merkuri primer, yang berasal dari pengolahan bijih sinabar.
  2. Pemulihan merkuri dari produk atau produksi pada operasi penambangan non-ferrous lainnya, serta pengolahan minyak dan gas.
  3. Dekomisioning (penutupan atau konversi) fasilitas klor-alkali, diikuti oleh pemulihan merkuri dari sel elektrolitik dan bagian lain dari tanaman.
  4. Daur ulang produk yang mengandung merkuri dan limbah bantalan merkuri lainnya.
  5. Stok merkuri yang berasal daripemerintah atau swasta.

Pasokan/sumber merkuri secara umum berasal dari stok merkuri, cadangan geologi (penambangan dan pengolahan bijih sinabar), merkuri hasil produk samping, hasil dari pemulihan dan daur ulang (recovery & recylcing). Pada tahun 2015 pasokan merkuri terbesar adalah berasal dari cadangan geologi yaitu penambangan dan pengolahan sinabar. Sedangkan permintaan penggunaan merkuri secara garis besar adalah untuk Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK), produk tambahan merkuri dan untuk proses industri. Penggunaan merkuri untuk PESK adalah yang terbesar dan sebagian besar bahkan seluruhnya dilepas ke lingkungan.

Dalam konteks memperoleh informasi langsung dari para PESK, memiliki tantangan tersendiri untuk mengungkap peredaran merkuri di pasar terbuka. Ditambah lagi dengan adanya isu penegakan hukum, proses penggalian informasi penggunaan dan peredaran merkuri sangat sulit dilakukan, padahal kegiatan pengolahan emas masih banyak ditemukan. Jaringan penjualan merkuri hanya diketahui oleh sesama PESK dan saling menutupi informasi. Ada yang mengatakan bahwa merkuri dapat diperoleh dari para pedagang emas walaupun saat ini ketersediaannya sudah sangat terbatas. Pengakuan dari beberapa masyarakat pengolah emas yang diwawancarai bahwa terakhir kali menggunakan merkuri pada awal tahun 2018 dan selanjutnya lebih banyak menggunakan Sodium Cyanide. Sebagian lagi ada yang menyatakan bahwa merkuri masih dapat dijumpai walaupun sangat terbatas dan dihargai dua juta rupiah per kilogram, namun tetap tidak bersedia memberikan informasi rinci.

Untuk memperoleh merkuri yang sudah mulai sulit ditemukan, beberapa komunitas PESK berupaya memperoleh bahan merkuri kembali dari sisa pengolahan emas dengan sistem penyulingan sederhana.Secara kasat mata mereka dapat menandai lumpur sisa pengolahan yang masih mengandung merkuri. Lumpur dibakar dan uap yang dihasilkan disalurkan melalui pipa dan sekali-kali disiram dengan air untuk menangkap uap merkuri.Cara ini tentunya akanmemberikan dampaknegative bagi pekerja maupun masyarakat sekitar yang menghirup udara mengandung merkuri dari hasil penyulingan. Merkuri dengan kualitas rendah yang dihasilkan akan digunakan sendiri atau dijual.

Konvensi Minamata

Karena sifatnya yang berbahaya, serta merupakan kontaminan yang bersifat trans-boundary, maka penggunaan serta emisi merkuri kemudian dibatasi. Krisis kesehatan masyarakat yang diakibatkan oleh keracunan merkuri, seperti kasus Minamata, telah menarik perhatian dunia internasional. United Nations Environment Programme (UNEP), sebagai badan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang menangani masalah lingkungan, menginisiasi pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) mulai dari INC pertama pada tahun 2010 di Stockholm hingga INC kelima pada tahun 2013 di Jenewa yang berujung pada penandatanganan Konvensi Minamata tentang Merkuri di Jepang pada tanggal 10 Oktober 2013. Pemerintah Indonesia termasuk salah satu penandatangan Konvensi Minanata, dan pada tahun 2017 Indonesia resmi meratifikasi Konvensi Minamata yang dituangkan dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2017 tentang Konvensi Minamata mengenai Merkuri, sebagai wujud nyata komitmen Pemerintah Indonesia untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari bahaya pencemaran merkuri.

Konvensi Minamata bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan keselamatan lingkungan, dan ratifikasi Konvensi Minamata oleh Pemerintah Indonesia sejalan dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Dalam implementasinya, Konvensi Minamata mengharuskan negara penandatangan untuk membuat langkah-langkah strategis untuk menghapuskan penggunaan merkuri serta mengurangi emisi merkuri. Secara spesifik, upaya penghapusan penggunaan merkuri pada PESK (Artisanal Small Scale Gold Mining) dijelaskan dalam Minamata Convention on Mercury pada Artikel 7 dan Lampiran C.

Inventarisasi Penggunaan Merkuri Pada Kegiatan PESK

Merujuk pada isi dari Konvensi Minamata pada Artikel 7 bahwa setiap Negara Pihak yang memiliki kegiatan PESK harus mengambil langkah untukmengurangi, dan jika mungkin menghapuskanpenggunaan merkuri dan senyawa merkuri serta emisi dan pelepasan merkuri ke lingkungan dari kegiatan penambangan dan pengolahan. Setiap Negara Pihak perlu menyediakan data estimasi baselinejumlah penggunaan merkuri dan paktek-praktek yang diterapkan dalam penambangan dan pengolahan emas skala kecil.

Kegiatan PESK lebih banyak dilakukan secara tidak resmi, sehingga sangat sedikit data statistik yang tersedia untuk mengetahui kegiatan produksi dan penjualan emas dari PESK. Untuk dapat memperkirakan penggunaan merkuri, produksi emas, dan tenaga kerja memerlukan kunjungan lapangan yang ekstensif, wawancara dengan para penambang, pembeli emas, pejabat pemerintah setempat, dan lainnya (UNEP, 2013).

Penyediaan data estimasi baseline jumlah penggunaan merkuri pada kegiatan PESK tentunya tidak mudah dan memiki tantangan tersendiri, sehingga diperlukan kerjasama dari berbagai pihak kepentingan.Untuk mengumpulkan data-data yang relevan dalam penghitungan estimasi baseline penggunaan merkuri di PESK, diperlukan pengalaman di lapangan, keterampilan dalam perolehan dan pengelolaan data, dan pemahaman dasar metode ilmiah, yang didukung dengan ketersediaan waktu dan biaya. Pengumpulan data awal dapat dilakukan dengan akses dari lembaga pemerintah, LSM, asosiasi, perguruan tinggi, berbagai media informasi termasuk juga hasil citra udara seperti citra satelit, foto udara dan foto yang diambil oleh pesawat tak berawak (unmanned aerial vehicle). Gambar dari foto udara dapat digunakan untuk mendeteksi kegiatan PESK.

Dari hasil rangkaian kegiatan inventarisasi merkuri yang telah dilakukan, sumber data PESK antara lain diperoleh dari:

  • Instansi pemerintah:
    • Instansi pemerintahyang menangani isu pertambangan. Data yang diperoleh adalah kegiatan PESK yang telah memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
    • Instansi pemerintah yang menangani isu lingkungan hidup. Data PESK dapat terlacak dari beberapa kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan PESK.
    • Kepolisian Republik Indonesia. Data penanganan kasus dari kegiatan PESK.
  • Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam isu lingkungan hidup, terutama terkait PESK
  • Informan yang terjun langsung dalam kegiatan PESK. Informan ini sangat dapat diandalkan, walaupun kenyataan dilapangan tidak mudah untuk mendapatkan informan yang benar-benar bersedia berbagi informasi. Sebagian informan selain berprofesi sampingan dalam PESK, juga bekerja di kantor pemerintahan, mengelola koperasi yang beranggotakan PESK atau sebagai tokoh masyarakat.
  • Media massa cetak dan elektronik. Kasus-kasus penegakan hukum yang terliput oleh media massa menjadi salah satu sumber data kegiatan PESK yang paling banyak diperoleh, yang aktivitasnya masih harus dilakukan pengecekan kembali.

Diperlukan banyak upaya yang harus dilakukan untuk dapat menginventarisasi kegiatan PESK yang masih menggunakan merkuri di seluruh Indonesia. Kerjasama antar berbagai pihak kepentingan akan mendukung ketersediaan data dan informasi yang menyeluruh. Tidak hanya untuk memenuhi kewajiban Indonesia sebagai Negara Pihak Konvensi Minamata, tetapi terutama bagaimana menyelamatkan lingkungan dan kesehatan masyarakat di sekitar PESK dari pajanan Merkuri. Disamping itu solusi alternatif teknikpengolahan emas non merkuri yang mudah diaplikasikan juga menjadi penantian para PESK.

 

Daftar Pustaka

  1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Grand Design, Pengurangan dan Penghapusan Merkuri Pada Pertambangan Emas Skala Kecil, 2017.
  2. United NationsEnvironment Programme, A Practical Guide, Reducing Mercury Use in Artisanal and Small-Scale Gold Mining, 2012.
  3. United Nations Environment Programme, Methods and Tools, Estimating Mercury Use and Documenting Practices in Artisanal and Small-Scale Gold Mining (ASGM), 2013.
  4. http://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mercury-and-health, tanggal 27 Agustus 2018 pukul 3.03 pm.

Pin It on Pinterest